Peristiwa 80 Tahun Silam: Berita Proklamasi Kemerdekaan RI Lolos Sensor Sampai di Surabaya
Catatan: Yousri Nur Raja Agam
Delapan puluh tahun lalu, wartawan tidak mudah mengirim berita dari Jakarta ke berbagai daerah, terutama berita politik terkait perjuangan rakyat Indonesia menuju kemerdekaan.
Sekitar tahun 1945, berita yang dikirim melalui radio, telegram, dan telepon diawasi ketat oleh ahli komunikasi bala tentara Jepang. Setiap informasi harus melewati sensor penguasa yang menjajah Indonesia selama tiga setengah tahun.
Salah satu berita terpenting saat itu adalah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Berita detik-detik proklamasi pada 17 Agustus 1945 berhasil lolos dari sensor dan sampai di Surabaya.
Secara kebetulan, peristiwa bersejarah itu terjadi pada hari Jumat, 17 Agustus 1945, di Jakarta. Hebatnya, berita proklamasi diterima di Surabaya hanya 15 menit setelah Soekarno membacakan naskah proklamasi didampingi Bung Hatta.
Pengiriman Berita di Masa Sulit
Tidak seperti zaman sekarang yang serba instan melalui ponsel atau internet, pengiriman berita saat itu masih mengandalkan telegram dengan kode Morse dan telepon kabel. Teknologi satelit belum ada.
Morse Telegram yang Membawa Kabar Merdeka
Meski ada hambatan, berita proklamasi berhasil diterima oleh Kantor Berita Domei Cabang Surabaya dari kantor pusatnya di Jakarta dalam bentuk Morse. Berikut isinya setelah diterjemahkan ke huruf Latin:
> *”bra djam 12.00 aug tg.17 domei 007 djakarta – (proklamasi)
> kami bangsa indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan indonesia titik hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dll diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja titik
> djakarta hari toedjoeh belas boelan delapan 2605 titik
> atas nama bangsa indonesia soekarno-hatta
> rd at 1205″
Berita tersebut diterima oleh markonis Jacob dan Soemadi, lalu diserahkan ke redaksi Domei Surabaya. Kantor berita yang dipimpin orang Jepang bernama Ohara ini memiliki tim redaksi antara lain Soetomo (Bung Tomo), RM Bintarti, Soemadji Adji Wongsokeosoemo (Pak Petruk), Wiwik Hidayat, dan Fakih. Sementara bagian telekomunikasi diketuai Hidayat dengan anggota Soejono, Soewadji, Anwar Idris, dan lainnya.
Upaya Sensor dan Penyebaran Diam-diam
Begitu berita sampai di redaksi, suasana kantor Domei langsung ramai. Namun, sesuai prosedur, berita itu harus dilaporkan ke Hodokan (dinas sensor). Petugas sensor marah dan menyatakan berita itu tidak benar, lalu melarang penyiarannya.
Jacob, salah satu petugas Domei, diam-diam meneruskan berita ke harian *Soeara Asia* yang berkantor di Aloon-aloon Straat (kini Jalan Pahlawan), bersebelahan dengan Domei. Namun, Hodokan juga membantah berita itu ke *Soeara Asia*, membuat redaktur Mohammad Ali ragu. Padahal, berita proklamasi sudah diatur untuk halaman pertama dengan judul *”Proklamasi Indonesia Merdeka”*.
Mohammad Ali tidak menyerah. Ia menelepon Domei Pusat di Jakarta untuk memastikan kebenaran berita itu. Penerima telepon, Ahmad, membenarkan bahwa proklamasi memang telah terjadi. Sayangnya, konfirmasi ini terlambat, sehingga berita proklamasi hanya dimuat sebagai *stop press* di *Soeara Asia* edisi 17 Agustus 1945.
Kendati singkat, berita itu menyebar cepat. Esok harinya, 18 Agustus 1945, *Soeara Asia* memuat teks lengkap proklamasi di halaman depan, didukung selebaran-selebaran yang tersebar di Surabaya.
Sensor Ketat di Masa Pendudukan Jepang
Sejak Jepang menguasai Indonesia pada 1 April 1942, segala bentuk pers diawasi ketat. Hodokan (dinas sensor) memberlakukan aturan ketat terhadap media cetak, siaran radio, bahkan studio foto.
Pemerintah Jepang juga mengeluarkan Undang-Undang No. 18 tanggal 25 Mei 1942 tentang pengawasan penerbitan dan ancaman hukuman bagi pelanggar. Kantor berita *Aneta* ditutup, sementara *Antara* diubah namanya menjadi *Yashima*, lalu bergabung dengan *Domei*.
Wartawan pun harus mengikuti pelatihan dan hanya yang lulus boleh mendapatkan kartu pers dari *Jawa Shinbun Kai*. Dari *Soeara Asia*, hanya 16 wartawan yang lolos seleksi, termasuk Mohammad Ali, R. Toekoel Soerohadinoto, dan A. Dermawan Loebis.
Warisan untuk Generasi Masa Kini
Meski Jepang menerapkan sensor ketat, semangat pers Indonesia tetap hidup. Pembinaan pemuda dengan semangat *Asia Raya* justru dimanfaatkan untuk mendorong kemerdekaan. Setelah Jepang menyerah akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Indonesia akhirnya merdeka.
Semoga kisah sejarah ini tetap digemari generasi milenial dan Gen Z, karena masa lalu adalah cermin untuk memahami masa kini dan masa depan.
**Yousri Nur Raja Agam**
*Wartawan Senior Surabaya*